MAAF, Anda dari golongan orang kaya?”
Orang yang ditanyapun langsung mengangguk. Tapi tetap diam tak bergeming.
“Kalau begitu maaf, Anda salah masuk. Di sini bukan tempat Anda. Ini tempat golongan orang-orang miskin. Tapi kalau Anda mau bergabung dengan kami, sebaiknya predikat orang kaya pada diri Anda sebaiknya ditanggalkan dulu. Bahkan akan lebih baik lagi kalau dibuang saja jauh-jauh,” penanya itu, mungkin sebagai ketua dari kelompok orang miskin itu menjelaskan. Sementara orang-orang dibelakangnya serempak mengiyakan.
Sedangkan orang yang mengaku dari golongan orang kaya itu tampak kebingungan.
“Apa Anda seorang pendatang dari negeri lain, bukan warga dari negeri ini?”
“Ya ya ya… Saya baru saja tiba. Saya memang dari negeri seberang.”
“Maksud Anda datang ke negeri ini untuk keperluan apa?”
“Saya ingin membuktikan kabar yang saya dengar, bahwa negeri ini adalah sebuah negeri yang kaya-raya, dan subur makmur loh jinawi. Seluruh rakyatnya hidup tenteram dan sejahtera. Tapi ternyata…”
“Indah kabar dari rupa!” tetua itu menyela, “Memang demikianlah adanya, Ki Sanak. Memang kabar yang tersiar di negeri seberang begitu menggoda, bahwa negeri ini merupakan negeri impian bagi mereka yang merindukan ketenteraman dan kedamaian. Dan itu sengaja digembar-gemborkan oleh para pemimpin kami, yang kami sendiri tidak tahu apa maksudnya…”
“Yang jelas, negeri ini telah lama dikuasai oleh segolongan orang-orang yang tak jelas maksudnya memang. Dan entah bagaimana juga, kehidupan di negeri ini telah dibuat terkotak-kotak oleh penguasa. Ada golongan orang kaya, ada golongan orang miskin – seperti kami ini, ada golongan cendikiawan, ada golongan orang awam… Pokoknya setiap terdapat hal-hal yang berlainan satu dengan yang lain, sudah pasti akan dibeda-bedakan, dikelompok-kelompokkan…”
“Tapi satu sama lain hidup berdampingan ‘kan, tidak ada pertentangan, atau bahkan ada gontok-gontokkan?”
“Itulah masalahnya. Justru memang karena demikianlah, di negeri ini tak pernah sepi dari kerusuhan. Mungkin hampir setiap detik, kerusuhan selalu timbul. Baik dalam skala kecil, maupun yang menghebohkan… Sehingga ketenteraman hanyalah suatu impian di hari siang. Dan karena seringnya terjadi kerusuhan juga, harta kami yang dulu berlimpah ruah, sekarang hilang dengan sia-sia…”
0 comments:
Posting Komentar