Islam yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha tinggi serta hikmah dan ketentuan hukum-Nya yang maha agung, adalah agama yang sempurna aturan syariatnya, dalam menjamin kemaslahatan bagi umat Islam serta membawa mereka meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Namun demikian itulah syari`at Allah. Dimana kita dituntut untuk menundukkan segala bentuk hawa nafsu, suka dan tidak suka, serta kepuasan dan kekecewaan kita itu untuk dikontrol oleh syari`at Allah. Hal itu konsekuensi logis terhadap pengakuan keimanan kita kepada Allah Ta`ala. Makanya Allah Ta`ala menegaskan bahwa belum tentu sesuatu yang kita benci itu jelek bagi kita dan sebaliknya belum tentu yang kita sukai itu baik bagi kita, sebab hanya Allah-lah satu-satunya pihak yang paling mengetahui baik buruknya sesuatu bagi hambanya.
Dalam hal ini ujian semacam itu dialami oleh kaum wanita dalam bentuk syari`at poligami. Dimana perasaan dan naluri wanita tidak menyukai amalan tersebut. Namun justru disinilah letak ujian bagi keimanan seorang wanita mukmin. Kekecewaan wanita kepada suaminya yang memadunya bila disalurkan kepada sunnah, yakni menyikapinya dengan ikhlash dan sabar menghadapai ketentuan Allah atas dirinya itu, maka akan meningkatkan derajatnya menjadi khairun nisa` (wanita shalihah), akan tetapi bila kekecewaan itu disalurkan kepada hawa nafsu syaithaniyyah yakni lepas dari kontrol agama dalam meluapkan kekecewaan tersebut dan semata-mata mengikuti naluri kewanitaannya, maka sikap tersebut akan menghancurkan hidupnya dan akan menyebabkan malapetaka dalam hidupnya, serta kehinaan di akhirat kelak.