Susah bener mau omong yang bener. Pikiran udah gak bener, hati gak bener. Belon lagi disodorin proposal ama bini soal uang belanja kudu ditambahin bulan ini dan bulan-bulan ke depannya lagi. Emang mau ngerampok? Kalo ‘perampok ‘ uang negara sih pada tenang-tenang aja. Lha, kita-kita ini yang ngais rezeki harus pake kerja keras, dipaksa nerima nasib doang. Dipikirnya BLT bisa ngatasin segalanya. Emang rakyat jelata kayak kita ini tau bener soal inflasi yang diramu dengan bahasa aduhai nan gemulai oleh para begawan ekonomi, mulai dari kelas teri sampai yang karbitan?
Ya, dalam dalam ilmu ekonomi, kata Wikipedia nih, katanya inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Mau dipelintir bahasanya kayak apa aja, sapa mau peduli. POKOKNYA PADA NAIK AJA TUH HARGA-HARGA BARANG ! TITIK ! Itu aja kali yang dingerti oleh rakyat kecil seperti saya ini, dan jujur saja dapat mempengaruhi banyak hal mulai dari perut, kesehatan sampai pendidikan.
Ekspektasi kenaikan harga antara lain, masih menurut Wikipedia, bisa disebabkan adanya kekhawatiran konsumen terhadap kenaikan tarif-tarif komoditas yang dikendalikan pemerintah, seperti BBM, listrik, serta ketidaklancaran distribusi barang dan/atau berkurangnya ketersediaan barang atau jasa sebagai akibat mahalnya biaya transportasi atau minimnya infrastruktur yang memadai. Jadi dampak psikologis juga kuat sekali, belum juga naik para spekulasi di pasar sudah pada pasang kuda-kuda untuk menaikan sebagian harga bahan pokok. Itu baru terjadi pada para spekulan pasar. Belum lagi efek psikologis bagi masyarakat jelang tahun ajaran baru. Apa gak membuat masyarakat panik ?
Nah bahasa di koran-koran kan canggih-canggih tuh. Tapi sekali lagi, POKOKNYA APA-APA PADA NAIK AJA GITU !
Kemaren saya sempat baca dari salah satu koran nasional, Bank Indonesia berpendapat bahwa dampak inflasi dari kenaikan BBM hanya bersifat temporer, dan diperkirakan hanya akan bergejolak selama 3 bulan. Lha mereka ngitung gak sih, ini bulan apa ? Kalo sudah masuk April, tiga bulan kemudian udah Juni atau Juli. Saat para orang tua harus merogoh kocek buat ngurusin anak untuk sekolah.
Enak banget ya omong temporer. Kalo saya sih, ngartiin temporer itu, sementara atau dianggap biasa. “Ah toh nanti rakyat Indonesia nerima juga, walau cerewet diawal kenaikan BBM”. Jadi temporer juga bisa diartikan “Eh elu rakyat, kudu nerima aja. Kagak bakal lama kok gangguan inflasi!” Enak bener ya?
Kalo si Trisno, tetangga sebelah rumah, yang kebetulan jadi panitia tender proyek meminta komisi dari penguasaha lantaran kenaikan BBM dan alasan masuk tahun ajaran baru untuk anak sekolah sih mudah amat dia ngelakuinnya. Lha bagi orang lain, kan belum tentu? Mau maksa tambahan dari mana? Ngerampok?
Boleh sih, boleh aja naikin tapi mikir dong waktunya juga dampak laennya. Ini sama aja maksa rakyat ngerampok! Lagi-lagi saya harus omong ngerampok. Tapi entah mau ngerampok yang mana? Paling bisa dipaksa membohongi konsumen bagi pedagang, nah yang gak, mau ngapain? Minjem uang dari tetangga dan rentenir untuk kebutuhan yang didesak oleh inflasi?
Kenapa gak nabung bang? Nabung seberapa banyak? Nabung dari mana? Untuk idup setiap hari aja udah pas-pasan. Emang mau dipaksa apa lagi? Yang paling masuk akal dipaksa ngutang, jadi wajar, kalo saya bisa juga bilang, tekanan inflasi memaksa rakyat jelata seperti saya ini untuk ngutang. Kalo dengan bahasa pasarannya, negara ini memang mengajarkan rakyatnya untuk ngutang. Wong negara saja tukang ngutang!
Eh belum lama, melalui Vivanews, tanggal 11 Maret kemarin, saya membaca kalau Lingkaran Survey Indonesia melaporkan “Sebanyak 69,64 persen responden menyukai Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang rencananya akan diberikan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
Ini survey apaan? Itung-itungan dari mana? Kondisi real sendiri gak bisa membuktikan hal yang beginian. BLT tidak menjawab kebutuhan rakyat miskin. Dulu waktu pemerintah menaikkan harga BBM tahun 2008 lalu, Megawati mengatakan BLT menyebabkan mental masyarakat lemah. Ya! Emang mental jadi lemah. Bagi saya, “ditipu” untuk menerima kebijakan pemerintah biar gak ribut. Apalagi jumlah BLT tetap saja Rp. 100.000. Aduh ini pada ngitung gimana sih ya. Ini mau tahun ajaran baru, mana bisa ngejawab. Bahkan menurut Republika, dari pantauan demo kenaikan BBM di Yogyakarta, disebutkan bahwa hasil survei sebuah lembaga memberikan kesimpulan bahwa kalau harga BBM dinaikkan seperti yang telah direncanakan, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia akan bertambah hingga 3,5 juta orang.
Kalau diulas kembali, soal efek psikologi, dari para spekulasi di pasar selalu mejadikan kenaikan BBM untuk menaikan harga-harga yang lain, ini sangat meresahkan. Belum lagi kalau para buruh tidak mendapat kenaikan gaji pada masa kenaikan BBM. Pengusaha tentu akan mikir untung ruginya, karena BBM juga.
Belum lagi menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, 8 Maret 2011 kemarin, beliau menepis anggapan harga kebutuhan pokok naik mendahului kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Menurut Hatta sejumlah bahan pangan yang harganya memang sudah sudah naik, karena musim hujan. Lha, udah tau, rakyat lagi sengsara karna musim penghujan dan cuaca ekstrim memaksa harga-harga naik. Apalagi kalo kenaikan BBM. Ini menepis anggapan, apa mencari pembenaran saja?
Ah, kudu pake itung-itungan dan kasih solusi ke pemerintah? Itu urusan mereka. Harusnya mencari solusi yang tepat, bukan BBM sebagai cara praktis menyelesaikan masalah. Kalo gak nyari solusi yang tepat mulai saat ini, ke depan akan terulang lagi. Sebagai orang bodoh dan rakyat jelata. Cara mengatasi beban APBN bisa ditempuh dengan mengurangi belanja pegawai, karena terbukti dari data yang diperoleh Komisi XI tercatat anggaran sebesar Rp 1,3 triliun yang tidak terserap baik dalam APBN. Belum lagi ada undang-undang cukai untuk komuditi tertentu. Yang paling penting renegosiasi terhadap perusahaan tambang yang banyak dikuasai asing. Freeport misalnya. Kalau konsumsi BBM diharapakan untuk diirit tapi kenyataanya jumlah kendaraan terus bertambah, dan kenaikannya mencapai 15 persen tiap tahunnya. Nah hal seperti ini kan bisa dicari solusinya.
0 comments:
Posting Komentar