Ketika dokter sudah
berada di genggaman perusahaan farmasi, yang terjadi adalah kekonyolan.
Pasien akan menerima resep "tak masuk akal".
Namun, pasien tak
berdaya karena ketidaktahuannya. Kerja sama atau KS antara perusahaan
obat dan dokter itu seperti ijon.
Dokter menerima uang atau hadiah di
depan yang harus dikembalikan hingga empat kali lipatnya. Pengembalian
dilakukan lewat kewenangan dokter dalam menulis resep.
Apabila
seorang dokter telah diberi uang Rp 200 juta oleh sebuah perusahaan
farmasi, maka ia harus meresepkan obat dari perusahaan farmasi itu
senilai Rp 800 juta.
Jangka waktunya tidak terbatas, bisa dua bulan, tiga bulan, enam bulan, ataupun setahun.
Saat
seorang dokter menjalin kerja sama dengan perusahaan farmasi yang
diwakili oleh medical representative atau medrep, dokter itu akan
diawasi. Medrep mengunci apotik-apotik rujukan sang dokter sehingga
perusahaan obat bisa memantau progres kerja sama.
Menurut seorang
mantan medrep, pola kerja sama perusahaan farmasi dan dokter ataupun
rumah sakit, sudah berlangsung lama di semua daerah di Indonesia.
Mantan
medrep tersebut menceritakan, sekitar tahun 2008, ia menjalin kerja
sama dengan seorang dokter spesilasi paru-paru di sebuah rumah sakit
pemerintah di pinggiran Jakarta.
Kesepakatan kerja sama yang
disampaikan secara lisan, tanpa perjanjian tertulis, itu menyatakan
bahwa si dokter akan meresepkan antibiotik cair buatan perusahaan
farmasi tertentu.
Si dokter kemudian menerima uang Rp 20 juta
untuk biaya berlibur ke Bali bersama keluarganya. Sepulang dari Bali, si
dokter jadi rajin meresepkan antibiotik cair kepada pasiennya yang
mayoritas adalah orang dewasa.
Dia ditarget meresepkan antibiotik
itu senilai Rp 100 juta. "Akhirnya, untuk pasien dewasa pun dia kasih
resep antibiotik cair. Kan jadi konyol, pasien dewasa dikasih antibiotik
cair," ujar mantan medrep itu ketika ditemui di sebuah gerai fastfood
di Alam Sutera, Tangerang Selatan, Banten.
"Mestinya pasien dewasa diberi antibiotik tablet. Cuma gara-gara terima uang akhirnya muncul resep tak masuk akal," tambahnya.
Dalam
enam bulan dokter itu sudah melunasi "kewajibannya" ke perusahaan
farmasi. Tapi banyak apoteker tertawa melihat resep si dokter.
"Antibiotik cair kan untuk anak-anak," katanya.
Beberapa medrep maupun mantan medrep yang menjadi narasumber yakin masyarakat banyak yang tak sadar soal ini.
"Banyak
orang jadi resisten terhadap antibiotik golongan terendah gara-gara
dokter mengadakan kerja sama untuk meresepkan antibiotik golongan yang
lebih tinggi," kata salah satu medrep.
Seorang medrep berkepala
plontos mengaku, suatu ketika, anaknya demam dan ia pun membawanya ke
sebuah klinik di Jakarta Selatan. Dokter kemudian memberi resep
antibiotik golongan dua.
Lantaran paham, medrep tersebut menolak
resep dokter. "Saya minta amoxicilin saja. Amoxicilin kan termasuk
antibiotik golongan rendah. Saya tahu kalau demam biasa, pakai
amoxicilin saja cukup," ungkapnya.
"Tak
perlu golongan dua yang seperti yang sempat diresepkan dokter. Kasihan
anak saya, nanti jadi resisten. Lagipula antibiotik golongan dua itu
jauh lebih mahal," katanya lagi.
Pria berkepala plontos itu pun
buka kartu bahwa dia berprofesi sebagai medrep. "Dokter itu kemudian
mengganti resepnya," katanya.
Dalam pembicaraan singkat tersebut,
si dokter mengaku punya kerja sama dengan sebuah perusahaan obat yang
memproduksi antibiotik golongan dua.
Pilihan amoxicilin untuk
mengatasi demam si anak tidak keliru. "Ternyata benar, dalam dua hari,
anak saya sembuh," imbuh medrep tersebut.
Mengaku sebagai "orang farmasi" memang jadi password bagi para medrep untuk tidak menjadi korban resep tidak masuk akal.
"Kalau
ada keluarga yang sakit ataupun opname, sejak awal saya katakan kepada
dokternya, 'dok... saya orang farmasi lho'. Kalau sudah gitu, pasien gak
akan diberi resep yang aneh-aneh," ujar seorang mantan medrep.